Pulau Jawa merupakan salah satu pulau terluas di Indonesia yang
terletak di bagian Selatan Nusantara yang disebut sebagai Negara Maritim.
Sesuai dengan julukannya, Pulau Jawa yang secara geografis berbatasan langsung
dengan Laut Jawa di sebelah Utara, Selat Bali di sebelah Timur, Samudera Hindia
di sebelah Selatan, dan Selat Sunda di sebelah Barat ini dikelilingi oleh
berbagai perairan, baik samudera, laut, maupun selat sehingga pulau ini
memiliki banyak sekali kawasan pesisir di dalamnya. Kawasan lingkungan pesisir
merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, jika ke arah darat maka
wilayah pesisir masih meliputi bagian darat baik kering maupun terendam air
yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut sedangkan ke arah laut wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia seperti penggundulan hutan (Soegiarto, 1976). Kawasan Pesisir di Indonesia
seringkali mendapatkan dampak dari perubahan iklim Indonesia seperti
meningkatkanya genangan banjir di dataran rendah, erosi pantai, serta gelombang
ekstrim yang nantinya dapat pula memperngaruhi ekosistem pesisir. Padahal
kawasan pesisir di Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat didayagunakan
jika saja konservasi dan sumber daya berkelanjutan lebih diperhatikan. Jika
proses itu terus menerus berlanjut, maka akan menimbulkan perubahan morfologi
yang berdampak pada terganggungya ekosistem di permukaan, kerusakan sumber daya
air, infrastruktur, perikanan, pertanian, dan wisata bahari. Begitupula dengan
Pulau Jawa yang saat ini mulai diancam oleh isu-isu kenaikan air laut akibat
dampak pemanasan global yang cukup tinggi sehingga menarik minat para ilmuwan
untuk mengkaji dampak apa saja yang akan dihasilkan oleh bencana kenaikan muka
air laut tersebut beberapa tahun mendatang. Perubahan iklim yang cukup
signifikan terjadi di Indonesia menyebabkan kenaikan air muka laut memiliki
variasi mulai dari 60cm-100cm (BAPPENAS, 2010)
Kawasan pesisir Pulau
Jawa merupakan salah satu daerah yang dinamis karena adanya proses darat, laut,
dan iklim yang saling mendominasi antara satu dengan yang lainnya. Keragaman
dan kompleksitas kawasan pesisir, baik secara fisik, kimia, biologi, dan
dimensi kemanusiaan menyebabkan kawasan pesisir rentan terhadap berbagai
perubahan. Kerentanan kawasan pesisir disebabkan berbagai hal seperti jenis
batuan termasuk tingkat kekerasannya yang beragam mengakibatkan bentuk bentang
alam yang berbeda dapat menghasilkan lumpur lunak yang berdampak buruk dengan
kenaikan muka laut. Kemudian adapula kenaikan muka laut yang dapat mempengaruhi
perubahan garis pantai sehingga berdampak besar pada peningkatan intensitas
abrasi maupun akradisi kawasan pesisir Pulau Jawa. Saat ini, isu yang tengah
dihadapi di kawasan pesisir Pulau Jawa yaitu dampak pemanasan global. Dampak
pemanasan global yang terjadi di kawasan Pesisir Pulau Jawa berupa kenaikan
muka laut dengan kecepatan 2-8 mm/tahun. Kenaikan permukaan laut atau kenaikan
muka laut merupakan fenomena naiknya permukaan laut yang disebabkan oleh banyak
faktor yang kompleks karena merupakan bencana alam
yang lambat dan bisa diprediksi sehingga justru manusia cenderung lupa untuk segera
menanganinya padahal 100 tahun mendatang kenaikan muka laut tersebut mampu
untuk menggenangi kawasan pesisir Pulau Jawa. Hal-hal yang mendukung isu ini
yaitu adanya berbaga pendapat yang muncul dari para ilmuwan bahwa konsentrasi
gas rumah kaca (green house) sebagai akibat dari peningkatan emisi CO2
dan gas lainnya yang dapat mengakibatkan peningkatan suhu di permukaan bumi
secara global yang akan berdampak terhadap kenaikan permukaan laut. Selain itu,
muncul pula pendapat jika muka bumi laut Pulau Jawa saat ini telah mencapai
titik tertingginya dan di masa mendatang akan mengalami penurunan akibat
fenomena glasial yang terjadi selama beberapa periodik.
Berdasarkan
isu tersebut, maka dilakukanlah penelitian secara visual pada beberapa lokasi
kawasan pesisir Pulau Jawa untuk mengindikasi rona awal serta dampak yang
timbul dengan menentukan peringkat pada setiap parameter yang ada di kawasan
pesisir dan laut tersebut. Secara umum kawasan berisiko kenaikan muka laut di pesisir Pulau
Jawa mencakup hampir seluruh daerah Pesisir Utara Pulau Jawa, dari Banten
hingga Jawa Timur, kecuali pesisir-pesisir setempat di lereng Gunung Muria,
daerah Tuban, dan daerah Baluran. Di pesisir selatan Jawa mencakup pesisir
Banyumas, pesisir Kebumen, sebagian pesisir di Yogyakarta, pesisir Lumajang, di
sebagian pesisir Banyuwangi (Muncar dan Grajagan) juga mengalami risiko
kenaikan muka laut meskipun tidak terlalu signifikan. Implikasi dari kerentanan Pulau
Jawa tersebut pada dasarnya akan terjadi bencana alam yang tidak saja merubah
struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah, tetapi juga akan berakibat pada perubahan
aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Pulau Jawa. Bahkan saat ini telah
banyak penelitian yang dilakukan di seluruh kawasan pesisir Pulau Jawa karena
menurut analisis awal oleh para ahli, di tahun 2100 kawasan pesisir Pulau Jawa
akan merasakan puncak dampak dari kenaikan muka laut ini. Dengan kenaikan muka
air laut yang besar maka energi gelombang di dekat pantai juga akan meningkat,
dan berpotensi menyebabkan bencana besar seperti banjir rob, tsunami, dan
lainnya yang sangat dikhawatirkan saat ini.
Dengan adanya hal ini, penulis dapat menyimpulkan jika ketika kenaikan
permukaan laut mengalami percepatan seperti saat ini, sedikit kenaikan saja
dapat menyebabkan efek negatif pada habitat pesisir. Ketika air laut mencapai
lebih jauh ke pedalaman, hal itu dapat menyebabkan erosi, banjirnya lahan
basah, kontaminasi tanah pertanian, dan hilangnya habitat ikan, burung serta
tanaman. Saat badai besar menghantam daratan, permukaan air laut yang lebih
tinggi berarti badai akan menjadi lebih besar dan kuat, gelombang akan menyapu
segala sesuatu yang dilewatinya. Selain itu, ratusan juta orang yang tinggal di
area pesisir akan sangat rentan diterjang banjir. Kenaikan permukaan air laut
akan mendesak mereka untuk meninggalkan rumah dan pindah. Pulau-pulau dengan
dataran rendah dapat terendam sepenuhnya. Dari fenomena tersebut, dapat
dibayangkan bagaimana jadinya jika kawasan pesisir Pulau Jawa terus menerus
mengalami kenaikan muka laut maka tidak menutup kemungkinan kawasan pesisir
Pulau Jawa di tahun 2100 muka air laut diprediksi akan mencapai 1,8 meter yang
nantinya akan berdampak pada berkurangnya daratan seluas 417,9 Ha atau 0,3%
dari luas wilayah daratannya, terganggunya kegiatan sosial ekonomi masyarakat
setempat, terjadinya perubahan garis pantai, dan terganggunya jalur
transportasi (Jurnal Teknik, 2012). Belum lagi dampaknya terhadap ekosistem
yang hidup di dalamnya seperti keanekaragaman
sumberdaya hayati seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan estuaria
jika kawasan pesisir karena kenaikan muka air laut tidak hanya memberikan
dampak negatif pada daerah pulau-pulau kecil saja namun juga pada wilayah
pesisir secara keseluruhan tergantung besaran kenaikan muka air laut tersebut.
Dengan adanya kasus kenaikan muka air laut maka
ekosistem pesisir akan turut terancam pula karena kenaikan ini dapat
menyebabkan habitat terumbu karang di pantai tenggelam lebih dalam di bawah
permukaan laut, adanya intrusi air laut, habitat pesisir yang lain akan turut
hilang, berkurangnya tanaman pesisir akibat berkurangnya lahan yang dapat
ditanami. Untuk itu, diharapkan masyarakat peka terhadap isu-isu pesisir
seperti ini agar pencegahan dapat dilakukan sejak dini, karena jika tidak maka
kenaikan muka air laut juga dapat memberi dampak negatif pada aspek
sosial-ekonomi masyarakat seperti terjadinya perubahan kegiatan ekonomi di
wilayah pesisir seperti masyarakat yang awalnya bekerja memanfaatkan keberadaan
kawasan pesisir ataupun ekosistem yang terdapat di dalamnya terpaksa harus
mencari sumber pencaharian yang baru, peningkatan kerusakan pesisir, serta.
hilangnya atau berkurangnya daerah rekreasi yang berarti kurangnya daya tarik
wisata pesisir kepada wisatawan yang dapat menimbulkan berbagai efek negatif
baik pada ekonomi masyarakat maupun pendapatan daerah, Tidak hanya itu, hutan
mangrove yang selama ini dikenal memiliki fungsi untuk mengendapkan lumpur pada
akar-akar pohon untuk mencegah terjadinya erosi dan abrasi akan turut terancam
akibat kenaikan muka air laut yang menyebabkan erosi dan tidak dapat ditahan
lagi oleh hutan mangrove tersebut karena terjadinya perubahan genangan di tepi pantai.
Saat ini, keberadaan hutan mangrove cukup dapat membantu meminimalisir
terjadinya bencana alam, tetapi masih banyak manusia yang tidak menyadari hal
itu sehingga kurang memberi perhatian terhada keberadaan salah satu ekosistem
pesisir ini.
Dari isu-isu diatas,
penulis dapat memberikan rekomendasi sekaligus untuk menjawab argument yang
telah diberikan terkait adanya isu kenaikan muka air laut pada kawasan pesisir
Pulau Jawa. Terdapat bebepa rekomendasi yang dapat diberikan dari adanya
isu permasalahan pada kawasan pesisir di Pulau Jawa seperti melakukan
pencegahan dini dengan cara membuat peta komponen manajemen risiko bencana (risk
management of natural disaster) di dalam penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Aplikasi manajemen risiko bencana alam yang dimuat dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah akan membantu dalam menetapkan langkah kebijakan, pengambilan
keputusan serta diharapkan akan memberikan manfaat dalam mengurangi kemungkinan
terjadinya bahaya untuk mengantisipasi daya rusak yang tidak dapat dihindarkan.
Untuk itu, dilakukan analisis terhadap beberap hal seperti menganalisis wilayah
rawan bencana, analisis peruntukan lahan, serta analisis terhadap ketersediaan
teknologi untuk pencegahan dan penanganan bencana alam. Selain itu, pendidikan masyarakat juga perlu
ditingkatkan terkait pemahaman masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan
akibat bencana alam. Dalam hal ini masyarakat memiliki peran penting sebagai
penggerak penanggulangan bencana terutama di daerah sekitar tempat tinggalnya.
Selain itu, sesuai dengan isi dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 64 Tahun 2010 Tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, salah satu pencegahan dar dampak pemanasan global pada kawasan pesisir
yaitu dengan cara menyusun kegiatan struktur/fisik seperti pembangunan bangunan
pelindung pantai, peremajaan pantai, vegetasi pantai, dan pengelolaan ekosistem
pantai atau nonstruktur/nonfisik seperti penyusunan perundang-undangan,
penyusunan peta rawan bencana, dan penyusunan peta risiko bencana sesuai dengan
rekomendasi yang telah dituliskan pada rekomendasi sebelumnya.
Selanjutnya,
pencegahan awal dapat pula dilakukan dengan melakukan pencegahan terhadap
penyebab utama kenaikan muka laut, yaitu pemanasan global dengan cara :
1.
Relokasi, salah satu alternatif yang dapat
dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air
laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih
menjauhi garis pantai.
2. Akomodasi,
alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap
perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi,
peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau
(aquaculture), area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan
tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan
aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
3. Proteksi,
merupakan alternatif yang memiliki dua
kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan
penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan
yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan
pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap
perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap
mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working
with nature”.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk
menjaga kelangsungan kawasan pesisir seperti mengurangi dampak global warming seperti
melakukan konservasi sumber daya dengan cara mengurangi limbah dan polusi yang
membuat kawasan pesisir dapat tercemar, kemudian mengembangkan inovasi dengan
alternative teknologi serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya kelestarian alam yang dihasilkan oleh kawasan pesisir. Selain itu, hendaknya
Pemerintah sebagai pihak pengatur dan pengawas hendaknya membuat
rencana-rencana perbaikan dan penanggulangan juga pencegahan bagi kawasan
pesisir sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen-dokumen seperti RZWP-3K,
RZKP, dan lainnya sehingga kerusakan dapat diminimalisir serta memberikan
penyuluhan bagi masyarakat sekitar agar peka terhadap isu-isu yang dapat
mengancam keberadaan kawasan pesisir agar kerusakan yang ditimbulkan oleh
adanya global warming dengan cara pemberian dinding atau penghalang yang
kuat untuk menghalangi masuknya air laut ke darat. Saat ini diharapkan
masyarakat mulai mendukung langkah drastis mengurangi kenaikan permukaan air
laut dengan cara yang paling mudah yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca,
melakukan penanaman pohon, mengurangi pembuangan limbah di sekitar kawasan
pesisir, serta mulai melakukan pengelolaan terhadap vegetasi habitat asli yang
sudah ada di kawasan pesisir Pulau Jawa.
DAFTAR
PUSTAKA
Bappenas.2010.
Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Tahun 2020-2025
Haristyana,
Ayu. Suntoyo. Sambodho, Kriyo. 2012. Prediksi Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir
Kabupaten Tuban Akibat Perubahan Iklim. Jurnal Teknik ITS Vol. 1 No.1 (ISSN
2301-9271) : (1-2)
Hastuti,
Amandangi. 2012. Analisis Kerentanan Pesisir Terhadap Ancaman Kenaikan Muka
Laut di Selatan Yogyakarta. Skripsi. Program Sarjana Departemen Ilmu
Kelautan dan Teknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010 Tentang Mitigasi Bencana di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Prabowo,
H. Astjario, P. 2012. Perencanaan Pengelolaan Pesisir Pulau Jawa Ditinjau dari
Aspek Kerentanan Kawasan dan Implikasinya Terhadap Kemungkinan Bencana Kenaikan
Muka Laut. Jurnal Geologi Kelautan, Kementrian Energi Sumberdaya dan Mineral
Soegiarto,
A. 1976. “Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir”. Lembaga Oseanologi
: Jakarta. http://www.reposity.ipb.ac.id. 20
September 2017 (20:55)